Rabu, 19 Februari 2020

Makalah Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        LATAR BELAKANG
Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Istilah KDRT sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) tersebut seringkali disebut dengan kekerasan domestik. Kekerasan domestik
sebetulnya tidak hanya menjangkau para pihak dalam hubungan perkawinan antara suami dengan istri saja, namun termasuk juga kekerasan yang terjadi pada pihak lain yang berada dalam lingkup rumah tangga. Pihak lain tersebut adalah 1) anak, termasuk anak angkat dan anak tiri; 2) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak karena hubungan darah, perkawinan (misalnya: mertua, menantu, ipar dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga serta 3) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Siapapun sebetulnya berpotensi untuk menjadi pelaku maupun korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga pun tidak mengenal status sosial, status ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, suku maupun agama. Namun demikian, berdasarkan Catatan KOMNAS Perempuan dalam Pelaporan Kasus KDRT Pasca UU-PKDRT selain2 menggambarkan adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga dari tahun ke tahun juga menunjukkan bahwa diantara korban tersebut terbanyak adalah istri, yakni mencapai 85% (25.788 kasus ) dari total korban. Anak perempuan
merupakan korban ketiga terbanyak (1.693 kasus) setelah pacar (2.548 kasus) dan pembantu rumah tangga menduduki posisi keempat terbanyak (467 kasus)” (Mudjiati, S.H., Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang Responsif Gender, Data tersebut menunjukkan pada kita bahwa mayoritas korban kekerasan dalam rumah tangga ternyata perempuan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perempuan tergolong pihak yang dianggap rentan terhadap kekerasan,khususnya kekerasan dalam rumah tangga.Selain itu, data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan,khususnya mengenai Tindak Kekerasan.

1.2.        RUMUSAN MASALAH
1.2.1.   Apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
1.2.2.   Bagaimana Gejala-Gejala Kekerasan Terhadap Istri ?
1.2.3.   Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga ?
1.2.4.   Apa faktor penyebab terjadinya KDRT ?
1.2.5.   Apa Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
1.2.6.   Bagaimana Solusi Untuk Mengatasi KDRT ?
1.2.7.   Apa itu kesehatan reproduksi ?
1.2.8.   Apa Hak Yang Terkait Dengan Kesehatan Reproduksi ?
1.2.9.   Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting ?
1.2.10.Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi


1.3.        TUJUAN
1.3.1.   Untuk mengetahui definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
1.3.2.   Untuk mengetahui Gejala-Gejala Kekerasan Terhadap Istri ?
1.3.3.   Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga ?
1.3.4.   Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya KDRT ?
1.3.5.   Untuk mengetahui Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
1.3.6.   Untuk mengetahui Solusi Untuk Mengatasi KDRT ?
1.3.7.   Untuk mengetahui definisi kesehatan reproduksi ?
1.3.8.   Untuk mengetahui Hak Yang Terkait Dengan Kesehatan Reproduksi ?
1.3.9.   Untuk mengetahui Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting ?
1.3.10.Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi

1.4.        MANFAAT
Adapun manfaat dari makalah ini, yaitu :
1.4.1.   Bagi Pendidikan
Diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan dan dapat dipakai sebagai bahan bacaan mengenai KDRT dan Kespro.
1.4.2.   Bagi masyarakat
Dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan menambah pengetahuan khususnya mengenai KDRT dan Kespro.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1. KDRT
2.1.1     DEFINISI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi,termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.
2.1.2.   GEJALA-GEJALA KEKERASAN TERHADAP ISTRI
Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejalagejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.



2.1.3.   BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri tersebut, antara lain:
2.1.3.1.       Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
2.1.3.2.       Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
2.1.3.3.       Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
2.1.3.4.       Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
2.1.4.   FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Beberapa Faktor Penyebab dan Dampak KDRT Yang Dialami Perempuan
2.1.4.1        Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2.1.4.2        Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
2.1.4.3        Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
2.1.4.4        Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
2.1.4.5        Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
2.1.4.6        Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
2.1.4.7        Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
2.1.4.8        Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
2.1.4.9        Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
2.1.4.10     Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
2.1.4.11     Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki-laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
2.1.4.12     Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT. Lingkungan. Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami Mmemiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.
Isu kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh kaum perempuan seringkali dianggap sebagai persoalan individu. Padahal saat ini, kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi isu global yang mengundang perhatian berbagai  kalangan. Kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini banyak terjadi dapat dikatakan sebagai suatu fenomena gunung es. Artinya bahwa persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini terekspose ke permukaan (publik) hanyalah puncaknya saja. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang muncul dalam sebuah keluarga lebih banyak dianggap sebagai sebuah permasalahan yang sifatnya pribadi dan harus diselesaikan dalam lingkup rumah tangga (bersifat tertutup dan cenderung sengaja ditutup-tutupi).
Di masa sekarang ini tindak kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga, semakin sering terjadi pada perempuan, terutama pada istri, anak perempuan (tidak hanya anak kandung tetapi termasuk juga anak angkat, anak tiri, atau keponakan) dan pembantu rumah tangga yang mayoritas adalah perempuan. Beberapa penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan antara lain karena beberapa hal berikut: 1) Adanya pengaruh dari budaya patriarki yang ada ditengah masyarakat. Ada semacam hubungan kekuasaan di dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Dalam struktur dominasi tersebut kekerasan seringkali digunakan untuk memenangkan perbedaan, menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Dari hubungan yang demikian seolah-olah laki-laki dapat melakukan apa saja kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini ada ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Muncul ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tampak pada adanya peminggiran terhadap kaum perempuan (marginalisasi), penomorduaan (subordinasi), pelabelan (stereotipe negatif), adanya beban ganda pada perempuan serta kemungkinan munculnya kekerasan pada perempuan. 2) Adanya pemahaman ajaran agama yang keliru. Pemahaman yang keliru seringkali menempatkan perempuan (istri) sebagai pihak yang berada dibawah kekuasaan laki-laki (suami), sehingga suami menganggap dirinya. 3) Berhak melakukan apapun terhadap istri. Misalnya, pemukulan dianggap sebagai cara yang wajar dalam ”mendidik” istri. 4) Prilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat kekerasan dalam rumah tangga. Bagi anak, orang tua merupakan model atau panutan untuk anak. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru prilaku kedua orang tuanya dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Anak yang terbiasa melihat kekerasan menganggap bahwa kekerasan adalah suatu penyelesaian permasalahan yang wajar untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa hingga anakanak menjadi dewasa. 5) Tekanan hidup yang dialami seseorang. Misalnya, himpitan ekonomi (kemiskinan), kehilangan pekerjaan (pengangguran), dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memungkinkan seseorang mengalami stress dan kemudian dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa penyebab diatas bukanlah penyebab mutlak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Di luar dari beberapa penyebab yang telah disebutkan diatas, pasti masih ada lagi beberapa sebab yang lain yang memicu munculnya kekerasan pada perempuan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian, terlepas dari apapun penyebabnya, dampak dari kekerasan dalam rumah tangga tentu sangat luas. Dampak yang dirasakan tidak hanya pada perempuan korban secara langsung, namun juga berdampak pada anak-anak. Dampak pada perempuan korban dapat berupa dampak jangka pendek atau dampak langsung dan dampak jangka panjang. Dampak langsung bisa berupa luka fisik, kehamilan yang tidak diinginkan, hilangnya pekerjaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam jangka panjang perempuan korban dapat mengalami gangguan psikis seperti hilangnya rasa percaya diri (menutup diri), ketakutan yang berlebihan, dan sebagainya. Kekerasan yang terjadi terkadang dilakukan pula secara berulang oleh pelaku pada korban yang sama. Kekerasan semacam ini dapat memperburuk keadaan si korban. Secara psikologis tentu akan muncul rasa takut hingga depresi. Hal tersebut biasanya terjadi karena adanya ketergantungan (dependence) perempuan. 6) Korban terhadap pelaku (misalnya ketergantungan secara ekonomi). Seringkali pilihan menempuh jalur hukum pun merupakan alternatif pilihan yang sulit karena adanya ketergantungan tersebut. Akibat lain dari kekerasan dalam rumah tangga adalah stress, depresi, rasa takut, trauma, cacat fisik, perceraian, bahkan kematian. Kekerasan yang terjadi pada istri dapat pula melahirkan kekerasan lanjutan. Anak dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga baik itu secara langsung oleh si pelaku maupun menjadi korban kedua (lanjutan) atas kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh si korban pertama. Misalnya, suami melakukan kekerasan pada istri dan kemudian istri melampiaskan kekerasan tersebut pada si anak. Pada anak, selain berdampak pada kondisi psikologis (traumatik), dalam jangka panjang dapat berdampak pula pada munculnya kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga di masa yang akan datang. Proses tumbuh kembang anak tentu menjadi terganggu. Kekerasan memang berdampak sangat luas. Melihat dampak yang muncul akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, maka serangkaian kegiatan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sangat penting untuk diimplementasikan secara komprehensif dan dengan baik. Terlebih dengan melihat fakta maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga di tengah-tengah masyarakat, khususnya terhadap perempuan. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak dapat ditawar lagi. Berbagai upaya perlu dilakukan, termasuk upaya preventif diantaranya adalah penyebaran informasi atau penyadaran masyarakat (kampanye/sosialisasi) mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Ini bukan sekedar tugas pemerintah semata, namun diperlukan pula peran serta masyarakat. Hadirnya UU PKDRT tentu menjadi harapan besar bagi masyarakat, khususnya para perempuan, untuk melawan segala tindak kekerasan dalam rumah tangga. Secara keseluruhan UU PKDRT sendiri memuat mengenai pencegahan, perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu juga mengatur secara khusus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketentuan-ketentuan tersebut masih perlu terus diinformasikan kepada masyarakat luas, penegak hukum, tenaga medis, relawan pendamping, pekerja sosial serta pembimbing rohani dalam rangka mewujudkan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Apabila diantara kita mengetahui ada tindak kekerasan dalam rumah tangga janganlah lagi berpendapat bahwa kekerasan tersebut merupakan masalah rumah tangga orang lain. Membiarkan hanya akan melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi berbuatlah sesuatu untuk korban. Membantu mencari pertolongan, baik dengan mendatangi rumah sakit, polisi, maupun lembaga swadaya masyarakat yang menangani korban kekerasan dalam rumah tangga. Tanpa bantuan dari pihak luar, korban kekerasan dalam rumah tangga, khususnya perempuan, akan sulit mencari jalan untuk keluar dari permasalahannya.
2.1.5.   DAMPAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Kekerasan terhadap istri menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Diantaranya adalah : Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
2.1.6.   SOLUSI UNTUK MENGATASI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media. Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati.
Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya yang merugikan.  Ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
2.1.6.1        Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.

2.1.6.2        Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.
2.1.6.3        Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
2.1.6.4        Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
2.1.6.5        Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
2.1.6.6        Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.

2.1.7.   CONTOH KASUS
2.1.7.1        Aniaya Bocah dengan Disetrika
indosiar.com, Karawang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kembali terjadi di Karawang, Jawa Barat. Kali ini dilakukan sepasang suami istri (pasutri) yang tega menganiaya bocah perempuan berusia 10 tahun dengan berbagai pukulan benda tumpul serta menggunakan setrika panas. Korban terpaksa dilarikan ke rumah sakit dengan sejumlah luka, sementara pelaku kini mendekam di sel tahanan kepolisian. Marni Barus, warga Perumnas Bumi Teluk Jambi, Kecamatan Teluk Jambi Timur, Karawang hanya bisa bertunduk dan menangis saat digiring polisi ke ruang pemeriksaan. Perempuan yang memiliki tiga orang anak ini ditangkap petugas akibat penganiayaan yang dilakukan bersama suaminya.
Aksi kekerasan sendiri dilakukan tersangka Marni terhadap Ayu Wandira, bocah perempuan berusia 10 tahun yang selama ini tinggal dan dipekerjakan di rumahnya. Menurut tersangka, tindakannya yang membuat dirinya harus berurusan dengan kepolisian terjadi lantaran khilaf. Korban dinilai sering berbohong, tidak menuruti perintahnya serta mengambil makanan tanpa seijinya. Akibat perbuatannya Ayu mengalami sejumlah luka di tubuh. Luka tersebut akibat pukulan hingga cubitan dan tamparan. Bahkan luka akibat setrikaan hingga kini masih membekas dibagian lengan dan punggungnya. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tersangka Marni harus mendekam di sel tahanan Mapolres Karawang. Namun polisi membebaskan Sembiring, suami Marni lantaran tidak cukup bukti. Sementara itu Ayu Wandira yang mengalami luka penganiayaan hingga kini masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. (Zaenal Arifin/Sup)
2.1.7.2.       Istri Usia 15 Tahun Disiksa Suami
indosiar.com, Garut – Reni Rismayanti (15 tahun) warga Kecamatan Leles, Kabupaten Garut ini, hanya bisa merintih kesakitan saat dibopong petugas dari dalam mobil menuju tempat pengobatan alternatif. Wanita muda yang baru sebulan menikah ini, kerap disiksa suaminya. Akibat penyiksaan tersebut, tulang pinggang belakang Reni patah hingga tak bisa berjalan. Menurut Reni, awalnya ia hanya menegur suaminya yang pulang malam dalam keadaan mabuk. Namun suaminya itu malah tak terima dan menyiksa Reni. Reni juga diancam akan dibunuh Rendi, jika melapor kepada orang tuanya. Korban mengaku tindak penganiayaan itu, bukan yang pertama. Ia sering ditonjok, ditendang bahkan disundut rokok oleh suaminya itu, serta pernah disekap selama satu minggu didalam kamar, dengan makan seadanya. Karena tak kuat lagi menahan penyiksaan, korban Reni bersama ibunya melapor ke polisi. Sementara suami korban yang kabur melarikan diri, usai menyiksa istrinya itu, masih dalam kejaran petugas.(Deni Muhammad Arif/Ijs)



2.2.         KESEHATAN REPRODUKSI
2.2.1.    PENGERTIAN KESEHATAN REPRODUKSI
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU No. 23 Tahun 1992).
Definisi ini sesuai dengan WHO, kesehatan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan sosial, ditambahkan lagi (sejak deklarasi Alma Ata-WHO dan UNICEF) dengan syarat baru, yaitu: sehingga setiap orang akan mampu hidup produktif, baik secara ekonomis maupun sosial.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Kesehatan reproduksi berarti bahwa orang dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan keinginannya, kapan dan frekuensinya.
2.2.2.   HAK YANG TERKAIT DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI
Membicarakah kesehatan reproduksi tidak terpisahkan dengan soal hak reproduksi, kesehatan seksual dan hak seksual. Hak reproduksi adalah bagian dari hak asasi yang meliputi hak setiap pasangan dan individual untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak, dan waktu kelahiran anak, serta untuk memiliki informasi dan cara untuk melakukannya.
2.2.2.1.       KesehatanSeksual
Kesehatan seksual yaitu suatu keadaan agar tercapai kesehatan reproduksi yang mensyaratkan bahwa kehidupan seks seseorang itu harus dapat dilakaukan secara memuaskan dan sehat dalam arti terbebas dari penyakit dan gangguan lainnya. Terkait dengan ini adalah hak seksual, yakni bagian dari hak asasi manusia untuk memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab terhadap semua hal yang berhubungan dengan seksualitas, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan.
2.2.2.2.       Prinsip Dasar Kesehatan Dalam Hak Seksual dan Reproduksi
2.2.2.2.1.   Bodily integrity, hak atas tubuh sendiri, tidak hanya terbebas dari siksaan dan kejahatan fisik, juga untuk menikmati potensi tubuh mereka bagi kesehatan, kelahiran dan kenikmatan seks aman.
2.2.2.2.2.   Personhood, mengacu pada hak wanita untuk diperlakukan sebagai aktor dan pengambilan keputusan dalam masalah seksual dan reproduksi dan sebagai subyek dalam kebijakan terkait.
2.2.2.2.3.   Equality, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan antar perempuan itu sendiri, bukan hanya dalam hal menghentikan diskriminasi gender, ras, dan kelas melainkan juga menjamin adanya keadilan sosial dan kondisi yang menguntungkan bagi perempuan, misalnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi.



2.2.2.2.4.   Diversity, penghargaan terhadap tata nilai, kebutuhan, dan prioritas yang dimiliki oleh para wanita dan yang didefinisikan sendiri oleh wanita sesuai dengan keberadaannya sebagai pribadi dan anggota masyarakat tertentu.
2.2.2.2.5.   Ruang lingkup kesehatan reproduksi sangat luas yang mengacakup berbagai aspek, tidak hanya aspek biologis dan permasalahannya bukan hanya bersifat klinis, akan tetapi non klinis dan memasuki aspek ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Oleh karena aitu diintroduksi pendekatan interdisipliner (meminjam pendekatan psikologi, antropologi, sosiologi, ilmu kebijakan, hukum dan sebagainya) dan ingin dipadukan secara integratif sebagai pendekatan transdisiplin.
2.2.2.3.       Hak Aksasi Manusia yang terkait dengan kesehatan
2.2.2.3.1.   Deklarasi Universal HAM 1948.
Hak kebebasan mencari jodoh dan membentuk keluarga, perkawinan harus dilaksanakan atas dasar suka sama suka (Pasal 16). Hak kebebasan atas kualitas hidup untuk jaminan kesehatan dan keadaan yang baik untuk dirinya dan keluarganaya (Pasal 25).
2.2.2.3.2.   UU No. 7 Tahun 1984 (Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita: Jaminan persaman hak ats jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha perlinduangan terhadap fungsi melanjutkan keturunan (Pasal 11 ayat 1f). Jamainan hak efektif untuk bekerja tanpa dikriminasi atas dasar perkwainan atau kehamilan (Pasal 11 ayat 2).
2.2.2.3.3.   Penghapusan diskriminasi di bidang pemeliharaan kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan termasuk pelayanana KB (Pasal 12).
2.2.2.3.4.   Amianan hak kebebasan wanita pedesaan untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan KB (Pasal 14 ayat 2 b).
2.2.2.3.5.   Penghapusan diskriminasi yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persaman antara pria dan wanita (pasal 16 ayat 1).
2.2.2.3.6.   UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Setiap orang berhak membentuk suatua kelauarga dan melanjutkan keturunan melalui pekawianana yang sah (Pasal 10). Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 11).Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30).Hak wanita dalam UU HAM sebagai hak asasi manusia (Pasal 45).
2.2.2.3.7.   Tap No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 2). Hak atas pemenuhan kebutuhan dasar auntuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 3).Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin (Pasal 27). Dalam pemenuan hak asasi manusia, laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama (Pasal 39).
a) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan/profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita (Pasal 49 ayat 2). b) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum (Pasal 49 ayat 3). c)Hak dan tanggungjawab yang sama antara isteri dan suaminya dalam ikatan perkawainan (Pasal 51).
2.2.3.   MENGAPA KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA SANGAT PENTING
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), kekerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Risiko ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan pada remaja putri di pedesaan, haid pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka padarisiko kehamilan dan persalinan dini.


Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas, serta frekuensi tindak kekerasan anak.
Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah. Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh.
Remaja yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan. Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat, minuman beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi.
2.2.4.   KELAINAN DAN PENYAKIT SISTEM REPRODUKSI
Penyakit pada sistem reproduksi manusia dapat disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Penyakit yang menyerang sistem reproduksi manusia dinamakan juga kelamin. Pada umumnya, penyakit tersebut dapat menyerang pria dan wanita. Contoh penyakit pada sistem reproduksi adalah sebagai berikut :


2.2.4.1.       Sifilis
      Sifilis adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh bakteri. Tanda – tanda penyakit ini dapat hilang, namun bakteri penyebab penyakit tetap masih di dalam tubuh, setelah beberapa tahun dapat menyerang otak sehingga dapat mengakibatkan kebutaan dan gila.  Tanda – tanda sifilis, antara lain: 1) Terjadinya luka pada alat kelamin, rektum, lidah, dan bibir. 2) Pembengkakan getah bening pada bagian paha. 3) Bercak – bercak diseluruh tubuh. 4) Tulang dan sendi terasa nyeri ruam pada tubuh, khususnya tangan dan telapak kaki.
      Adapun penyebab dan pencegah untuk penyakit ini,penyebabnya yaitu sebagai berikut: 1) Berhubungan seks dengan penderita gonorrhea, 2) Sering berganti-ganti pasangan.3) Infeksi virus Neisserria gonorrhoea.
      Pencegahan penyakit ini sebagai berikut: 1) Setia terhadap pasangan.2) Selalu menjaga kebersihan organ kewanitaan. 3) Berhubungan seks dengan aman ( tidak bergonta-ganti pasangan). 4) Perkuat daya tahan tubuh dari infeksi dengan olahraga teratur dan makan makanan bergizi agar tidak mudah terkena paparan penyakit.
2.2.4.2.       Gonore ( kencing nanah)
      Gonore ( kencing nanah) disebabkan oleh bakteri. Gejala dari gonore, antara lain keluarnya cairan seperti nanah dari saluran kelamin, rasa panas dan sering kencing. Bakteri penyebab penyakit ini dapat menyebar keseluruh tubuh sehingga menyebabkan rasa nyeri pada persendian dan dapat mengakibatkan kemandulan. Penyakit ini dapat disembunyikan jika dilakukan pengobatan dengan penggunaan antibiotik secara cepat.



2.2.4.3.       Herpes Genetalis
      Herpes genetalis disebabkan oleh virus. Virus penyebab penyakit herpes genetalis adalah Herpes simpleks. Gejala penyakit herpes genetalis, antara lain timbulnya rasa gatal atau sakit pada daerah kelamin dan adanya luka yang terbuka atau lepuhan berair.
2.2.5.   PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI REMAJA
Pilihan dan keputusan yang diambil seorang remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka, baik formal maupun informal.
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini, informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual.
Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan reproduksi para remaja.




Jumlah fasilitas kesehatan reproduksi  yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy) atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi kepada kelompok remaja.
Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality. Hal ini menjadi penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan yang berorientasi pada klien.

2.2.6.   DAMPAK KEKERASAN TERHADAP KESEHATAN REPRODUKSI
Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan  di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketimbang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga.  Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara.
Dampak terhadap  status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan / pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.


BAB III
PENUTUP
3.1.        KESIMPULAN
Kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk diketahui oleh para perempuan bakal calon ibu ataupun laki-laki calon bapak. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas dapat simpulkan bahwa :
3.1.1.   Definisi kesehatan sesuai dengan WHO, kesehatan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dana sosial, ditambahkan lagi (sejak deklarasi Alma Ata-WHO dan UNICEF) dengan syart baru, yaitu: sehingga setiap orang akan mampu hidup produktif, baik secara ekonomis maupun sosial.
3.1.2.   Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.
3.1.3.   Hak reproduksi adalah bagian dari hak asasi yang meliputi hak setiap pasangan dan individual untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak, dan waktu kelahiran anak, serta untuk memiliki informasi dan cara untuk melakukannya.
3.2.        SARAN
Untuk itu wawasan dan pengetahuan kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk bisa dikuasai dan dimiliki oleh para perempuan dan laki-laki yang berumah tangga, supaya kesejahtaraan dan kesehatan bisa tercapai dengan sempurna. Oleh kerana itu penulis memberi saran kepada para pihak yang terkait khususnya pemerintah, Dinas Kesehatan untuk bisa memberikan pengetahuan dan wawasan tersebut kepada khalayak masyarakat dengan cara sosialisasi, kegiatan tersebut mudah-mudahan kesehatan reproduksi masyarakat bisa tercapai dan masyarakat lebih pintar dalam menjaga kesehatannya.
Siapapun memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik oleh orang lain, sehingga UU PKDRT menjadi harapan dalam rangka menghapus kekerasan dalam rumah tangga yang masih banyak terjadi di sekitar kita. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya persoalan milik perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Perlu keterlibatan laki-laki untuk bersamasama melangkah dan berbuat sesuatu untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Hal lain yang perlu disadari adalah bahwa pemulihan korban dari dampak kekerasan dalam rumah tangga tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, pencegahan, pendampingan, pemulihan dan penegakan hukum dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat ditawar lagi pelaksanaannya.



DAFTAR PUSTAKA

Kinasih, Neyla.2012. kamus pintar wanita pintar. Yogyakarka:Pinang Merah Recidence.

Mona Isabella Saragih, Amkeb, SKM. Materi Kesehatan Reproduksi. Akademi Kebidanan YPIB Majalengka.

WARIYONO suki.2008. ilmu alam sekitar. Jakarta: Hamudha Prima Media

Muladi dan Barda Nawawi Arief, bunga rampai hukum pidana, Cet.1, (Bandung :Alumni 1992), 1992, hal. 77

Tubagus Ronny Nitibaskara, “kekerasan dalam perspektif kriminologi”,
Aneka Cipta, Jakarta, 1998, hal 21

M. Sofyan Lubis, “Undang-undang kekerasan dalam rumah
tangga(KDRT)”,(26 Maret 2009):9

Wawancara dengan korban KDRT, di kediamannya di Cikande, Serang, Banten Wawancara dengan Salamah dan Ali, di kediamannya di Talagasari,
Cikupa, Banten

www.blogspot.com”makalah revormasi hukum dan kebijakan”,periode
2002/2008

www.google.com,” makalah kekerasan dalam rumah tangga”.
( diakses internet tanggal 8 – 05 – 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar