BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
merupakan bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Istilah KDRT sebagaimana ditentukan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
tersebut seringkali disebut dengan kekerasan domestik. Kekerasan domestik
sebetulnya tidak hanya menjangkau para pihak dalam
hubungan perkawinan antara suami dengan istri saja, namun termasuk juga kekerasan
yang terjadi pada pihak lain yang berada dalam lingkup rumah tangga. Pihak lain
tersebut adalah 1) anak, termasuk anak angkat dan anak tiri; 2) orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri dan anak karena hubungan
darah, perkawinan (misalnya: mertua, menantu, ipar dan besan), persusuan,
pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga serta 3) orang yang
bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Siapapun
sebetulnya berpotensi untuk menjadi pelaku maupun korban dari kekerasan dalam
rumah tangga. Pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga pun tidak
mengenal status sosial, status ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis
kelamin, suku maupun agama. Namun demikian, berdasarkan Catatan KOMNAS
Perempuan dalam Pelaporan Kasus KDRT Pasca UU-PKDRT selain2 menggambarkan
adanya peningkatan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga dari tahun ke
tahun juga menunjukkan bahwa diantara korban tersebut terbanyak adalah istri,
yakni mencapai 85% (25.788 kasus ) dari total korban. Anak perempuan
merupakan
korban ketiga terbanyak (1.693 kasus) setelah pacar (2.548 kasus) dan pembantu
rumah tangga menduduki posisi keempat terbanyak (467 kasus)” (Mudjiati, S.H., Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang
Responsif Gender, Data tersebut menunjukkan pada kita bahwa mayoritas korban
kekerasan dalam rumah tangga ternyata perempuan. Tidak dapat dipungkiri lagi
bahwa perempuan tergolong pihak yang dianggap rentan terhadap kekerasan,khususnya
kekerasan dalam rumah tangga.Selain itu, data dari hasil Survei Kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2006 oleh BPS dan Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan,khususnya mengenai Tindak Kekerasan.
1.2.
RUMUSAN
MASALAH
1.2.1. Apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ?
1.2.2.
Bagaimana Gejala-Gejala
Kekerasan Terhadap Istri ?
1.2.3.
Bagaimana bentuk-bentuk
kekerasan dalam rumah tangga ?
1.2.4.
Apa faktor penyebab
terjadinya KDRT ?
1.2.5.
Apa Dampak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
1.2.6.
Bagaimana Solusi
Untuk Mengatasi KDRT ?
1.2.7.
Apa itu kesehatan
reproduksi ?
1.2.8.
Apa Hak Yang
Terkait Dengan Kesehatan Reproduksi ?
1.2.9.
Mengapa Kesehatan
Reproduksi Remaja Sangat Penting ?
1.2.10.Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi
1.3.
TUJUAN
1.3.1. Untuk mengetahui definisi Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) ?
1.3.2.
Untuk mengetahui Gejala-Gejala
Kekerasan Terhadap Istri ?
1.3.3.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk
kekerasan dalam rumah tangga ?
1.3.4.
Untuk mengetahui faktor
penyebab terjadinya KDRT ?
1.3.5.
Untuk mengetahui Dampak
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
1.3.6.
Untuk mengetahui
Solusi Untuk Mengatasi KDRT ?
1.3.7.
Untuk mengetahui
definisi kesehatan reproduksi ?
1.3.8.
Untuk mengetahui Hak Yang Terkait Dengan Kesehatan Reproduksi ?
1.3.9.
Untuk mengetahui Mengapa Kesehatan Reproduksi Remaja Sangat Penting
?
1.3.10.Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi
1.4.
MANFAAT
Adapun
manfaat dari makalah ini, yaitu :
1.4.1. Bagi
Pendidikan
Diharapkan dapat menjadi
tambahan ilmu pengetahuan dan dapat dipakai sebagai bahan bacaan mengenai KDRT
dan Kespro.
1.4.2. Bagi
masyarakat
Dapat dijadikan sebagai
sumber informasi dan menambah pengetahuan khususnya mengenai KDRT dan Kespro.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. KDRT
2.1.1
DEFINISI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk
tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat
menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi,termasuk ancaman,
perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu,
hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak
adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk
mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar
bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun
juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih
fatal dimasa yang akan datang.
2.1.2. GEJALA-GEJALA
KEKERASAN TERHADAP ISTRI
Gejala-gejala istri yang mengalami
kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa,
terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami
kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri
perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca
gejalagejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang
paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak
pernah dapat dipastikan.
2.1.3. BENTUK-BENTUK
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Bentuk-bentuk
kekerasan terhadap istri tersebut, antara lain:
2.1.3.1. Kekerasan
Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan
kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka,
rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
2.1.3.2. Kekerasan
Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan
penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang
mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering
terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya
telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu
dendam dihati istri.
2.1.3.3. Kekerasan
Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan
yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan
cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
2.1.3.4. Kekerasan
Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan
yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk
menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk
di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya
berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi
uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut
istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.
2.1.4. FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Beberapa
Faktor Penyebab dan Dampak KDRT Yang Dialami Perempuan
2.1.4.1
Masyarakat
membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki
harus kuat, berani dan tidak toleran.
2.1.4.2
Laki-laki
dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
2.1.4.3
Persepsi
mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena
merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
2.1.4.4
Pemahaman
yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan
istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa
laki-laki boleh menguasai perempuan.
2.1.4.5
Budaya
bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
2.1.4.6
Kepribadian
dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
2.1.4.7
Pernah
mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
2.1.4.8
Budaya
bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
2.1.4.9
Melakukan
imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering
melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
2.1.4.10 Masih rendahnya kesadaran untuk berani
melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan
permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang
kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data
kasus tentang (KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang
sepele. Masyarakat ataupun pihak yang tekait dengan KDRT, baru benar- benar
bertindak jika kasus KDRT sampai menyebabkan korban baik fisik yang parah dan
maupun kematian, itupun jika diliput oleh media massa. Banyak sekali kekerasan
dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari pihak
yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang
sebelah mata daripada kasus – kasus lainnya.
2.1.4.11 Masalah budaya, Masyarakat yang
patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki
dan perempuan dimana laki-laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki
berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki
– laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap
pelakunnya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk
memperlakukan anak – anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya,
sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT)
2.1.4.12 Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa
aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan
munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu
mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah
Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini
dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT. Lingkungan. Kurang
tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon apa yang terjadi,
hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa saja korban
beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena tidak
direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban
untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan
terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender
di masyarakat. Dalam masyarakat, suami Mmemiliki otoritas, memiliki pengaruh
terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai
pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam
masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini
sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang
yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap
istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini
mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan
juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena
keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan
kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih
dianggap sebagai kegiatan sampingan.
Isu kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh kaum
perempuan seringkali dianggap sebagai persoalan individu. Padahal saat ini,
kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi isu global yang mengundang perhatian
berbagai kalangan. Kekerasan dalam rumah
tangga yang selama ini banyak terjadi dapat dikatakan sebagai suatu fenomena
gunung es. Artinya bahwa persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini
terekspose ke permukaan (publik) hanyalah puncaknya saja. Persoalan kekerasan
dalam rumah tangga yang muncul dalam sebuah keluarga lebih banyak dianggap
sebagai sebuah permasalahan yang sifatnya pribadi dan harus diselesaikan dalam
lingkup rumah tangga (bersifat tertutup dan cenderung sengaja ditutup-tutupi).
Di masa sekarang ini tindak kekerasan dalam rumah tangga,
baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran
rumah tangga, semakin sering terjadi pada perempuan, terutama pada istri, anak
perempuan (tidak hanya anak kandung tetapi termasuk juga anak angkat, anak
tiri, atau keponakan) dan pembantu rumah tangga yang mayoritas adalah
perempuan. Beberapa penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan antara
lain karena beberapa hal berikut: 1) Adanya pengaruh dari budaya patriarki yang
ada ditengah masyarakat. Ada semacam hubungan kekuasaan di dalam rumah tangga
yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.
Dalam struktur dominasi tersebut kekerasan seringkali digunakan untuk
memenangkan perbedaan, menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk
mendemontrasikan dominasi semata-mata. Dari hubungan yang demikian seolah-olah
laki-laki dapat melakukan apa saja kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah
tangga. Dalam hal ini ada ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan.
Muncul ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tampak pada
adanya peminggiran terhadap kaum perempuan (marginalisasi), penomorduaan
(subordinasi), pelabelan (stereotipe negatif), adanya beban ganda pada
perempuan serta kemungkinan munculnya kekerasan pada perempuan. 2) Adanya
pemahaman ajaran agama yang keliru. Pemahaman yang keliru seringkali menempatkan
perempuan (istri) sebagai pihak yang berada dibawah kekuasaan laki-laki
(suami), sehingga suami menganggap dirinya. 3) Berhak melakukan apapun terhadap
istri. Misalnya, pemukulan dianggap sebagai cara yang wajar dalam ”mendidik”
istri. 4) Prilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat
kekerasan dalam rumah tangga. Bagi anak, orang tua merupakan model atau panutan
untuk anak. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru prilaku kedua orang tuanya
dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Anak yang terbiasa melihat kekerasan
menganggap bahwa kekerasan adalah suatu penyelesaian permasalahan yang wajar
untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa hingga anakanak menjadi dewasa. 5) Tekanan
hidup yang dialami seseorang. Misalnya, himpitan ekonomi (kemiskinan),
kehilangan pekerjaan (pengangguran), dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut
memungkinkan seseorang mengalami stress dan kemudian dapat memicu
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa penyebab diatas bukanlah
penyebab mutlak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Di luar dari beberapa
penyebab yang telah disebutkan diatas, pasti masih ada lagi beberapa sebab yang
lain yang memicu munculnya kekerasan pada perempuan, khususnya kekerasan dalam
rumah tangga. Namun demikian, terlepas dari apapun penyebabnya, dampak dari
kekerasan dalam rumah tangga tentu sangat luas. Dampak yang dirasakan tidak
hanya pada perempuan korban secara langsung, namun juga berdampak pada
anak-anak. Dampak pada perempuan korban dapat berupa dampak jangka pendek atau dampak
langsung dan dampak jangka panjang. Dampak langsung bisa berupa luka fisik,
kehamilan yang tidak diinginkan, hilangnya pekerjaan, dan lain sebagainya. Sedangkan
dalam jangka panjang perempuan korban dapat mengalami gangguan psikis seperti
hilangnya rasa percaya diri (menutup diri), ketakutan yang berlebihan, dan
sebagainya. Kekerasan yang terjadi terkadang dilakukan pula secara berulang oleh
pelaku pada korban yang sama. Kekerasan semacam ini dapat memperburuk keadaan
si korban. Secara psikologis tentu akan muncul rasa takut hingga depresi. Hal
tersebut biasanya terjadi karena adanya ketergantungan (dependence)
perempuan. 6) Korban terhadap pelaku (misalnya ketergantungan secara ekonomi).
Seringkali pilihan menempuh jalur hukum pun merupakan alternatif pilihan yang
sulit karena adanya ketergantungan tersebut. Akibat lain dari kekerasan dalam
rumah tangga adalah stress, depresi, rasa takut, trauma, cacat fisik,
perceraian, bahkan kematian. Kekerasan yang terjadi pada istri dapat pula
melahirkan kekerasan lanjutan. Anak dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga baik itu secara langsung oleh si pelaku maupun menjadi korban kedua
(lanjutan) atas kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh si korban
pertama. Misalnya, suami melakukan kekerasan pada istri dan kemudian istri
melampiaskan kekerasan tersebut pada si anak. Pada anak, selain berdampak pada
kondisi psikologis (traumatik), dalam jangka panjang dapat berdampak pula pada
munculnya kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga di
masa yang akan datang. Proses tumbuh kembang anak tentu menjadi terganggu. Kekerasan
memang berdampak sangat luas. Melihat dampak yang muncul akibat terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, maka serangkaian kegiatan penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga sangat penting untuk diimplementasikan secara komprehensif
dan dengan baik. Terlebih dengan melihat fakta maraknya kasus kekerasan dalam
rumah tangga di tengah-tengah masyarakat, khususnya terhadap perempuan.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak dapat ditawar lagi.
Berbagai upaya perlu dilakukan, termasuk upaya preventif diantaranya adalah penyebaran
informasi atau penyadaran masyarakat (kampanye/sosialisasi) mengenai penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga. Ini bukan sekedar tugas pemerintah semata, namun
diperlukan pula peran serta masyarakat. Hadirnya UU PKDRT tentu menjadi harapan
besar bagi masyarakat, khususnya para perempuan, untuk melawan segala tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Secara keseluruhan UU PKDRT sendiri memuat mengenai
pencegahan, perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga. Selain itu juga mengatur secara khusus kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana
penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketentuan-ketentuan tersebut masih perlu terus diinformasikan kepada masyarakat
luas, penegak hukum, tenaga medis, relawan pendamping, pekerja sosial serta
pembimbing rohani dalam rangka mewujudkan penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga. Apabila diantara kita mengetahui ada tindak kekerasan dalam rumah
tangga janganlah lagi berpendapat bahwa kekerasan tersebut merupakan masalah
rumah tangga orang lain. Membiarkan hanya akan melanggengkan kekerasan dalam rumah
tangga. Akan tetapi berbuatlah sesuatu untuk korban. Membantu mencari pertolongan,
baik dengan mendatangi rumah sakit, polisi, maupun lembaga swadaya masyarakat
yang menangani korban kekerasan dalam rumah tangga. Tanpa bantuan dari pihak
luar, korban kekerasan dalam rumah tangga, khususnya perempuan, akan sulit
mencari jalan untuk keluar dari permasalahannya.
2.1.5. DAMPAK
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Kekerasan terhadap istri menimbulkan
berbagai dampak yang merugikan. Diantaranya adalah : Dampak kekerasan terhadap
istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan
mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak
berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami
stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak
kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak
waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa
takut kehilangan pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan
anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam
pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak
berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah
karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana
yang dilakukan oleh orang tuanya.
2.1.6. SOLUSI
UNTUK MENGATASI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan
dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan
pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup
sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan
sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah
kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak
menyalahkan korban melalui media. Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan
sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar
permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar
untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan
dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka
kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan
perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain
itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus
kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri juga perlu
untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan
sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat
bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati.
Selain itu, suami dan istri perlu
belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada
perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak
akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu
diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun
semua itu harus diawali dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat negatif
yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan
banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan
berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya
yang merugikan. Ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
2.1.6.1
Membangun
kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan
merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2.1.6.2
Sosialiasasi
pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat
masyarakat pertama – tama dan terutama membutuhkan.
2.1.6.3
Adanya
konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
2.1.6.4
Mengkampanyekan
penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan
sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
2.1.6.5
Peranan
Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem
yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam
rumah tangga ( KDRT). Peran media massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah
KDRT bagaimana media massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah
suatu pola budaya KDRT adalah suatu tindakan yang dapat melanggar hukum dan
dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun bentuk dari penganiayaan.
2.1.6.6
Mendampingi
korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan
dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau
dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara
psikis.
2.1.7.
CONTOH KASUS
2.1.7.1
Aniaya Bocah dengan Disetrika
indosiar.com,
Karawang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) kembali terjadi di Karawang, Jawa Barat. Kali ini dilakukan
sepasang suami istri (pasutri) yang tega menganiaya bocah perempuan berusia 10
tahun dengan berbagai pukulan benda tumpul serta menggunakan setrika panas.
Korban terpaksa dilarikan ke rumah sakit dengan sejumlah luka, sementara pelaku
kini mendekam di sel tahanan kepolisian. Marni Barus, warga Perumnas Bumi Teluk
Jambi, Kecamatan Teluk Jambi Timur, Karawang hanya bisa bertunduk dan menangis
saat digiring polisi ke ruang pemeriksaan. Perempuan yang memiliki tiga orang
anak ini ditangkap petugas akibat penganiayaan yang dilakukan bersama suaminya.
Aksi kekerasan sendiri dilakukan
tersangka Marni terhadap Ayu Wandira, bocah perempuan berusia 10 tahun yang
selama ini tinggal dan dipekerjakan di rumahnya. Menurut tersangka, tindakannya
yang membuat dirinya harus berurusan dengan kepolisian terjadi lantaran khilaf.
Korban dinilai sering berbohong, tidak menuruti perintahnya serta mengambil
makanan tanpa seijinya. Akibat perbuatannya Ayu mengalami sejumlah luka di
tubuh. Luka tersebut akibat pukulan hingga cubitan dan tamparan. Bahkan luka
akibat setrikaan hingga kini masih membekas dibagian lengan dan punggungnya. Untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya tersangka Marni harus mendekam di sel tahanan
Mapolres Karawang. Namun polisi membebaskan Sembiring, suami Marni lantaran tidak
cukup bukti. Sementara itu Ayu Wandira yang mengalami luka penganiayaan hingga kini
masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. (Zaenal Arifin/Sup)
2.1.7.2. Istri
Usia 15 Tahun Disiksa Suami
indosiar.com,
Garut – Reni Rismayanti
(15 tahun) warga Kecamatan Leles, Kabupaten Garut ini, hanya bisa merintih
kesakitan saat dibopong petugas dari dalam mobil menuju tempat pengobatan
alternatif. Wanita muda yang baru sebulan menikah ini, kerap disiksa suaminya.
Akibat penyiksaan tersebut, tulang pinggang belakang Reni patah hingga tak bisa
berjalan. Menurut Reni, awalnya ia hanya menegur suaminya yang pulang malam
dalam keadaan mabuk. Namun suaminya itu malah tak terima dan menyiksa Reni.
Reni juga diancam akan dibunuh Rendi, jika melapor kepada orang tuanya. Korban
mengaku tindak penganiayaan itu, bukan yang pertama. Ia sering ditonjok,
ditendang bahkan disundut rokok oleh suaminya itu, serta pernah disekap selama
satu minggu didalam kamar, dengan makan seadanya. Karena tak kuat lagi menahan
penyiksaan, korban Reni bersama ibunya melapor ke polisi. Sementara suami
korban yang kabur melarikan diri, usai menyiksa istrinya itu, masih dalam kejaran
petugas.(Deni Muhammad Arif/Ijs)
2.2.
KESEHATAN
REPRODUKSI
2.2.1.
PENGERTIAN
KESEHATAN REPRODUKSI
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis (UU No. 23 Tahun 1992).
Definisi ini sesuai dengan WHO, kesehatan tidak hanya
berkaitan dengan kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dan sosial,
ditambahkan lagi (sejak deklarasi Alma Ata-WHO dan UNICEF) dengan syarat baru,
yaitu: sehingga setiap orang akan mampu hidup produktif, baik secara ekonomis
maupun sosial.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik,
mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau
kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan
fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Kesehatan reproduksi berarti bahwa orang
dapat mempunyai kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan mereka memiliki
kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk menentukan keinginannya, kapan
dan frekuensinya.
2.2.2.
HAK YANG TERKAIT DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI
Membicarakah kesehatan reproduksi tidak terpisahkan
dengan soal hak reproduksi, kesehatan seksual dan hak seksual. Hak reproduksi
adalah bagian dari hak asasi yang meliputi hak setiap pasangan dan individual
untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak, dan waktu
kelahiran anak, serta untuk memiliki informasi dan cara untuk melakukannya.
2.2.2.1. KesehatanSeksual
Kesehatan seksual yaitu suatu keadaan agar
tercapai kesehatan reproduksi yang mensyaratkan bahwa kehidupan seks seseorang
itu harus dapat dilakaukan secara memuaskan dan sehat dalam arti terbebas dari penyakit
dan gangguan lainnya. Terkait dengan ini adalah hak seksual, yakni bagian dari
hak asasi manusia untuk memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab terhadap
semua hal yang berhubungan dengan seksualitas, termasuk kesehatan seksual dan
reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan.
2.2.2.2. Prinsip
Dasar Kesehatan Dalam Hak Seksual dan Reproduksi
2.2.2.2.1.
Bodily integrity, hak atas tubuh sendiri,
tidak hanya terbebas dari siksaan dan kejahatan fisik, juga untuk menikmati
potensi tubuh mereka bagi kesehatan, kelahiran dan kenikmatan seks aman.
2.2.2.2.2.
Personhood, mengacu pada hak wanita untuk
diperlakukan sebagai aktor dan pengambilan keputusan dalam masalah seksual dan
reproduksi dan sebagai subyek dalam kebijakan terkait.
2.2.2.2.3.
Equality, persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dan antar perempuan itu sendiri, bukan hanya dalam hal menghentikan
diskriminasi gender, ras, dan kelas melainkan juga menjamin adanya keadilan
sosial dan kondisi yang menguntungkan bagi perempuan, misalnya akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi.
2.2.2.2.4.
Diversity, penghargaan terhadap tata nilai,
kebutuhan, dan prioritas yang dimiliki oleh para wanita dan yang didefinisikan
sendiri oleh wanita sesuai dengan keberadaannya sebagai pribadi dan anggota
masyarakat tertentu.
2.2.2.2.5.
Ruang lingkup kesehatan reproduksi sangat
luas yang mengacakup berbagai aspek, tidak hanya aspek biologis dan
permasalahannya bukan hanya bersifat klinis, akan tetapi non klinis dan
memasuki aspek ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Oleh karena aitu
diintroduksi pendekatan interdisipliner (meminjam pendekatan psikologi,
antropologi, sosiologi, ilmu kebijakan, hukum dan sebagainya) dan ingin
dipadukan secara integratif sebagai pendekatan transdisiplin.
2.2.2.3. Hak
Aksasi Manusia yang terkait dengan kesehatan
2.2.2.3.1.
Deklarasi Universal HAM 1948.
Hak kebebasan mencari jodoh dan membentuk
keluarga, perkawinan harus dilaksanakan atas dasar suka sama suka (Pasal 16).
Hak kebebasan atas kualitas hidup untuk jaminan kesehatan dan keadaan yang baik
untuk dirinya dan keluarganaya (Pasal 25).
2.2.2.3.2.
UU No. 7 Tahun 1984 (Konvensi Penghapusan
Diskriminasi Terhadap Wanita: Jaminan persaman hak ats jaminan kesehatan dan
keselamatan kerja, termasuk usaha perlinduangan terhadap fungsi melanjutkan
keturunan (Pasal 11 ayat 1f). Jamainan hak efektif untuk bekerja tanpa
dikriminasi atas dasar perkwainan atau kehamilan (Pasal 11 ayat 2).
2.2.2.3.3.
Penghapusan diskriminasi di bidang
pemeliharaan kesehatan dan jaminan pelayanan kesehatan termasuk pelayanana KB
(Pasal 12).
2.2.2.3.4.
Amianan hak kebebasan wanita pedesaan untuk
memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk penerangan,
penyuluhan dan pelayanan KB (Pasal 14 ayat 2 b).
2.2.2.3.5.
Penghapusan diskriminasi yang berhubungan
dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persaman antara pria dan
wanita (pasal 16 ayat 1).
2.2.2.3.6.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Setiap orang berhak membentuk suatua
kelauarga dan melanjutkan keturunan melalui pekawianana yang sah (Pasal 10). Setiap
orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang
secara layak (Pasal 11).Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu (Pasal 30).Hak wanita dalam UU HAM sebagai hak asasi manusia (Pasal
45).
2.2.2.3.7.
Tap No. XVII/MPR/1998 tentang HAM
Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 2). Hak atas pemenuhan kebutuhan
dasar auntuk tumbuh dan berkembang secara layak (Pasal 3).Hak untuk hidup
sejahtera lahir dan batin (Pasal 27). Dalam pemenuan hak asasi manusia,
laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama
(Pasal 39).
a) Wanita berhak untuk mendapatkan
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan/profesinya terhadap hal-hal
yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi
reproduksi wanita (Pasal 49 ayat 2). b) Hak khusus yang melekat pada diri
wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum
(Pasal 49 ayat 3). c)Hak dan tanggungjawab yang sama antara isteri dan suaminya
dalam ikatan perkawainan (Pasal 51).
2.2.3.
MENGAPA KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA SANGAT
PENTING
Masa remaja adalah masa transisi antara masa
kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental
dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial
yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang
tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup
generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi, karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi, termasuk kontrasepsi.
Kebutuhan dan jenis risiko kesehatan
reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dari anak-anak
ataupun orang dewasa. Jenis risiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi
remaja antara lain adalah kehamilan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS),
kekerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan
pelayanan kesehatan. Risiko ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual
dan pengaruh media massa maupun gaya hidup.
Khusus bagi remaja putri, mereka kekurangan
informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan
pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan
pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan
pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan
kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki (FCI, 2000). Bahkan
pada remaja putri di pedesaan, haid pertama biasanya akan segera diikuti dengan
perkawinan yang menempatkan mereka padarisiko kehamilan dan persalinan dini.
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan
tidak sehat pada remaja justru adalah akibat ketidak-harmonisan hubungan
ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang
fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas, serta frekuensi
tindak kekerasan anak.
Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu
untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses
reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua
dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan
fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.
Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan
pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah
tempat tinggal juga berpengaruh.
Remaja yang tidak mempunyai tempat tinggal
tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang tua, memiliki
lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran
dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan,
pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan
perkosaan. Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak
sehat, termasuk penyalahgunaan obat, minuman beralkohol, tindakan kriminalitas,
serta prostitusi.
2.2.4.
KELAINAN DAN PENYAKIT SISTEM REPRODUKSI
Penyakit pada sistem reproduksi manusia dapat
disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Penyakit yang menyerang sistem
reproduksi manusia dinamakan juga kelamin. Pada umumnya, penyakit tersebut
dapat menyerang pria dan wanita. Contoh penyakit pada sistem reproduksi adalah
sebagai berikut :
2.2.4.1. Sifilis
Sifilis
adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh bakteri. Tanda – tanda penyakit
ini dapat hilang, namun bakteri penyebab penyakit tetap masih di dalam tubuh,
setelah beberapa tahun dapat menyerang otak sehingga dapat mengakibatkan
kebutaan dan gila. Tanda – tanda sifilis, antara lain: 1) Terjadinya
luka pada alat kelamin, rektum, lidah, dan bibir. 2) Pembengkakan getah bening
pada bagian paha. 3) Bercak – bercak diseluruh tubuh. 4) Tulang dan sendi
terasa nyeri ruam pada tubuh, khususnya tangan dan telapak kaki.
Adapun
penyebab dan pencegah untuk penyakit ini,penyebabnya yaitu sebagai berikut: 1) Berhubungan
seks dengan penderita gonorrhea, 2) Sering berganti-ganti pasangan.3) Infeksi
virus Neisserria gonorrhoea.
Pencegahan
penyakit ini sebagai berikut: 1) Setia terhadap pasangan.2) Selalu menjaga
kebersihan organ kewanitaan. 3) Berhubungan seks dengan aman ( tidak
bergonta-ganti pasangan). 4) Perkuat daya tahan tubuh dari infeksi dengan
olahraga teratur dan makan makanan bergizi agar tidak mudah terkena paparan
penyakit.
2.2.4.2. Gonore
( kencing nanah)
Gonore (
kencing nanah) disebabkan oleh bakteri. Gejala dari gonore, antara lain
keluarnya cairan seperti nanah dari saluran kelamin, rasa panas dan sering
kencing. Bakteri penyebab penyakit ini dapat menyebar keseluruh tubuh sehingga menyebabkan
rasa nyeri pada persendian dan dapat mengakibatkan kemandulan. Penyakit ini
dapat disembunyikan jika dilakukan pengobatan dengan penggunaan antibiotik
secara cepat.
2.2.4.3. Herpes
Genetalis
Herpes
genetalis disebabkan oleh virus. Virus penyebab penyakit herpes genetalis
adalah Herpes simpleks. Gejala penyakit herpes genetalis,
antara lain timbulnya rasa gatal atau sakit pada daerah kelamin dan adanya luka
yang terbuka atau lepuhan berair.
2.2.5.
PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI BAGI REMAJA
Pilihan dan keputusan yang diambil seorang
remaja sangat tergantung kepada kualitas dan kuantitas informasi yang mereka
miliki, serta ketersediaan pelayanan dan kebijakan yang spesifik untuk mereka,
baik formal maupun informal.
Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan
pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang penyebab dan
konsekuensi perilaku seksual, apa yang harus dilakukan dan dilengkapi dengan
informasi mengenai saranan pelayanan yang bersedia menolong seandainya telah
terjadi kehamilan yang tidak diinginkan atau tertular ISR/PMS. Hingga saat ini,
informasi tentang kesehatan reproduksi disebarluaskan dengan pesan-pesan yang
samar dan tidak fokus, terutama bila mengarah pada perilaku seksual.
Di segi pelayanan kesehatan, pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana di Indonesia hanya dirancang
untuk perempuan yang telah menikah, tidak untuk remaja. Petugas kesehatan pun
belum dibekali dengan kete-rampilan untuk melayani kebutuhan kesehatan
reproduksi para remaja.
Jumlah fasilitas kesehatan
reproduksi yang menyeluruh untuk remaja sangat terbatas. Kalaupun
ada, pemanfaatannya relatif terbatas pada remaja dengan masalah kehamilan atau
persalinan tidak direncanakan. Keprihatinan akan jaminan kerahasiaan (privacy)
atau kemampuan membayar, dan kenyataan atau persepsi remaja terhadap sikap
tidak senang yang ditunjukkan oleh pihak petugas kesehatan, semakin membatasi
akses pelayanan lebih jauh, meski pelayanan itu ada. Di samping itu, terdapat
pula hambatan legal yang berkaitan dengan pemberian pelayanan dan informasi
kepada kelompok remaja.
Karena kondisinya, remaja merupakan kelompok
sasaran pelayanan yang mengutamakan privacy dan confidentiality. Hal ini menjadi
penyulit, mengingat sistem pelayanan kesehatan dasar di Indonesia masih belum
menempatkan kedua hal ini sebagai prioritas dalam upaya perbaikan kualitas
pelayanan yang berorientasi pada klien.
2.2.6.
DAMPAK KEKERASAN TERHADAP KESEHATAN
REPRODUKSI
Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan
bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas,
letih, kelainan stress post traumatic,
serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan.
Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan
kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya
meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering
mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti
penganiayaan mereka.
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap
kehidupan seksual dan repro-duksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh
Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan
dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan
reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam
pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan di
Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan
Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang
suka melakukan tindak kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang
lebih berat ketimbang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan
problem gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk
mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan
yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh
kesehatan reproduksi yang sehat.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada
saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia,
hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih
awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme,
akibat tindak kekerasan yang dialaminya.
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil
mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat
terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit
persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan
dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi
dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ
reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir,
emosi dan ekonomi keluarga. Dampak
terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara
berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu
merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak
bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan
memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan
yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing,
nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari
tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa
tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari
nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak, kehilangan kendali
ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan
dan terapi serta ongkos perkara.
Dampak terhadap
status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan /
pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan
bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Kesehatan reproduksi sangatlah penting untuk
diketahui oleh para perempuan bakal calon ibu ataupun laki-laki calon bapak.
Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas dapat simpulkan bahwa :
3.1.1.
Definisi kesehatan sesuai dengan WHO,
kesehatan tidak hanya berkaitan dengan kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan
mental dana sosial, ditambahkan lagi (sejak deklarasi Alma Ata-WHO dan UNICEF)
dengan syart baru, yaitu: sehingga setiap orang akan mampu hidup produktif,
baik secara ekonomis maupun sosial.
3.1.2.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan
kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya
penyakit atau kelemahan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.
3.1.3.
Hak reproduksi adalah bagian dari hak asasi
yang meliputi hak setiap pasangan dan individual untuk memutuskan secara bebas
dan bertanggung jawab jumlah, jarak, dan waktu kelahiran anak, serta untuk
memiliki informasi dan cara untuk melakukannya.
3.2.
SARAN
Untuk itu wawasan dan pengetahuan kesehatan
reproduksi sangatlah penting untuk bisa dikuasai dan dimiliki oleh para
perempuan dan laki-laki yang berumah tangga, supaya kesejahtaraan dan kesehatan
bisa tercapai dengan sempurna. Oleh kerana itu penulis memberi saran kepada
para pihak yang terkait khususnya pemerintah, Dinas Kesehatan untuk bisa
memberikan pengetahuan dan wawasan tersebut kepada khalayak masyarakat dengan
cara sosialisasi, kegiatan tersebut mudah-mudahan kesehatan reproduksi
masyarakat bisa tercapai dan masyarakat lebih pintar dalam menjaga
kesehatannya.
Siapapun memiliki hak untuk
diperlakukan dengan baik oleh orang lain, sehingga UU PKDRT menjadi harapan
dalam rangka menghapus kekerasan dalam rumah tangga yang masih banyak terjadi
di sekitar kita. Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya persoalan
milik perempuan sebagai pihak yang rentan terhadap kekerasan dalam rumah
tangga. Perlu keterlibatan laki-laki untuk bersamasama melangkah dan berbuat
sesuatu untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Hal lain yang perlu
disadari adalah bahwa pemulihan korban dari dampak kekerasan dalam rumah tangga
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, pencegahan,
pendampingan, pemulihan dan penegakan hukum dari tindak kekerasan dalam rumah
tangga tidak dapat ditawar lagi pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Kinasih,
Neyla.2012. kamus pintar wanita pintar. Yogyakarka:Pinang
Merah Recidence.
Mona
Isabella Saragih, Amkeb, SKM. Materi Kesehatan Reproduksi. Akademi Kebidanan
YPIB Majalengka.
WARIYONO suki.2008. ilmu alam
sekitar. Jakarta: Hamudha Prima Media
Muladi dan Barda Nawawi
Arief, bunga rampai hukum pidana, Cet.1, (Bandung :Alumni 1992), 1992,
hal. 77
Tubagus Ronny Nitibaskara,
“kekerasan dalam perspektif kriminologi”,
Aneka Cipta, Jakarta, 1998,
hal 21
M. Sofyan Lubis,
“Undang-undang kekerasan dalam rumah
tangga(KDRT)”,(26 Maret
2009):9
Wawancara dengan korban
KDRT, di kediamannya di Cikande, Serang, Banten Wawancara dengan Salamah dan
Ali, di kediamannya di Talagasari,
Cikupa, Banten
www.blogspot.com”makalah revormasi
hukum dan kebijakan”,periode
2002/2008
www.google.com,” makalah kekerasan
dalam rumah tangga”.
(
diakses internet tanggal 8 – 05 – 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar